Rabu, 22 Juli 2009

Produk Hasil Industri Tekstil Majalaya


Majalaya memiliki sejarah industri tekstil yang cukup panjang. Tahun 1930-an merupakan tonggak awal perkembangan industri tekstil Majalaya yang dipelopori oleh beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo Argadinata, H. Abdulgani, dsb. Masa-masa tersebut juga diwarnai dengan mulai bermunculannya industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Penyebaran kegiatan menenun berlangsung cukup cepat karena (1) tingginya persentase rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan melakukan pertanian marginal (2) kegiatan menenun merupakan tradisi lama, namun masih menjadi tipikal keterampilan perempuan kelas menengah (Hardjono, 1990 dan Pleyte, 1912 dalam Keppy, 2001). Selain itu keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri.


Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Oleh penduduk yang telah berusia lanjut masa tersebut dikenang sebagai masa-masa keemasan Majalaya.
Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total produksi kain di Indonesia. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar